Jumat, 07 September 2012

konjungtivitis


Clinical Science Session

                                                              KONJUNGTIVITIS

                                                                        Oleh :
                  Annita Wasbiru    0810312114
                                            Stevani Irwan             0810312186
                                                  Yusnida Rahmawati    0810312105




                                                                         Preseptor :
                                                                   dr. M. Hidayat, Sp.M
                                                                   dr. Fitratul Ilahi, Sp.M


                                                   BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
                                      FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
                                                                           PADANG
                                                                             2012

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session (CSS) yang berjudul Konjungtivitis.
CSS ini merupakan salah satu pemenuhan syarat kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Kami mengucapkan terimakasih kepada dr. M. Hidayat, Sp.M dan dr. FitratulIlahi Sp. M selaku pembimbing, beserta semuapihak yang telah membantu penyusunan CSS ini.
Penulisan makalah ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Akhir kata penulis berharap agar CSS ini bisa bermanfaat bagi kita bersama, serta dapat menambah wawasan, pengetahuan dan pemahaman sebagai klinisi yang nantinya dapat diaplikasikan untuk penatalaksanaan pasien dengan lebih baik dan komprehensif.


 Padang, 23 Agustus 2012

Penulis







DAFTAR ISI


Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 1
1.3. Batasan Masalah 2
1.4. Metode Penulisan 2
BAB II Pembahasan
2.1. Anatomi Konjungtiva 3
2.2. Histologi Konjungtiva 5
2.3. Fungsi Konjungtiva 5
2.4. Definisi Konjungtivitis 6
2.5. Epidemiologi Konjungtivitis 6
2.6. Etiologi Konjungtivitis 7
2.7. Klasifikasi Konjungtivitis 8
2.8. Patofisiologi Konjungtivitis 9
2.9. Gambaran Klinis Konjungtivitis 9
2.10. Macam-macam Konjungtivitis 12
A. Konjungtivitis Bakterial 12
B. Konjungtivitis Klamidia 15
C. Konjungtivitis Virus 19
D. Konjungtivitis Imunologik (Alergi) 25
E. K onjungtivitis Kimia atau Iritatif 31
BAB III Penutup 33
Daftar Pustaka 34



BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Permukaan posterior kelopak mata dan permukaan anterior sklera dibungkus oleh membran mukosa transparan dan tipis yang disebut Konjungtiva. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor – faktor lingkungan lain yang mengganggu. Keadaan ini dapat menyebabkan radang konjungtiva atau Konjungtivitis.
Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulent kental. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur,  alergi,  atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa.
Konjungtivitis merupakan salah satu penyakit infeksi mata yang paling umum dan sering terjadi di seluruh dunia dan juga merupakan penyakit yang mudah menular. Konjungtivitis bakteri dapat diobati dengan antibiotic, sementara konjungtivitis virus tidak memerlikan pengobatan spesifik karena bersifat self limitied disease. Pada konjungtivitis alergi, dapat dicegah dengan menghindari allergen penyebabnya. Konjungtivitis berkaitan dengan higien pribadi sehingga selain dengan pengobatan, tatalaksana yang juga diperlukan adalah dengan menjaga higien.
Pada dasarnya konjungtivitis bukanlah penyakit yang berat, namun jika tidak ditatalaksana segera, penyakit ini dapat menimbulkan komplikasi yang membahayakan mata dan penglihatan.
1.2 Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai konjungtivitis, khususnya konjungtivitis bakteri, virus, klamidia, dan alergi.

1.3 Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai anatomi, histologi dan fungsi konjungtiva, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, dan penatalaksanaan konjungtivitis bakteri, virus, klamidia, dan alergi.

1.4 Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan metode tinjauan pustaka yang mengacu kepada berbagi literatur.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Konjungtiva terdiri atas 3 bagian yaitu:
1. Konjungtiva palpebralis yang menutupi permukaan posterior dari palpebra
2. Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera
3. Konjungtiva forniks atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.3
Namun, secara letak areanya, konjungtiva dibagi menjadi 6 area yaitu area marginal, tarsal, orbital, forniks, bulbar dan limbal. 3
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.2
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sclera di bawahnya, kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm). Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terlelak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit dan membran mukosa.2
Konjungtiva forniks struktumya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan dengan jaringan dibawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan. Juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata.4
Berikut adalah gambaran anatomi dari konjungtiva


.
Gambar 2.1. Anatomi Konjungtiva


Gambar 2.2. 10) Plika semilunaris; 11) Karunkula

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan –bersama dengan banyak  vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya– membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak. 6
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri. 6,3
2.2. Histologi Konjungtiva
Jika dilihat dari segi histologinya, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus dan di atas karunkula. Di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa.2
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.2
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus, pembuluh darah dan serabut saraf. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.2
Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas.2

2.3. Fungsi Konjungtiva

Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan  kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata, dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA. 6
Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik. 6

2.4. Definisi Konjungtivitis

Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva ( lapisan luar mata dan lapisan dalam kelopak mata ) yang disebabkan oleh mikro-organisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), alergi, iritasi bahan-bahan kimia.7
Konjungtivitis adalah peradangan konjungtiva yang ditandai oleh dilatasi vaskular, infiltrasi selular dan eksudasi. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah.3, 6

2.5. Epidemiologi Konjungtivitis

Konjungtivitis adalah diagnosa yang mencakup bermacam-macam kelompok penyakit yang terjadi di seluruh dunia dan mengenai semua umur, semua status sosial dan kedua gender.8 Meskipun tidak ada tokoh yang dapat dipercaya yang mendata insidensi atau prevalensi dari konjungtivitis, kondisi ini telah disebutkan sebagai salah satu penyebab paling sering dari pasien untuk memeriksakan sendiri dirinya.2 Konjungtivitis jarang menyebabkan kehilangan penglihatan yang permanen atau kerusakan struktur, tapi dampak ekonomi dari penyakit ini dalam hal kehilangan waktu kerja, meskipun tidak terdokumentasi, sangat tidak diragukan lagi. Sekitar 2% dari seluruh kunjungan ke dokter adalah untuk pemeriksaan mata dengan 54% nya adalah antara konjungtivitis atau abrasi kornea.8 Untuk konjuntivitis yang infeksius, 42% sampai 80% adalah bakterial, 3% chlamydial, dan 13% sampai 70% adalah viral. Konjungtivitis viral menggambarkan hingga 50% dari seluruh konjungtivitis akut di poli umum. Occular cicatrical pemphigoid dan konjungtivitis neoplasma jarang tampak.8
2.6. Etiologi Konjungtivitis

1. Bakterial
a. Hiperakut (purulen) : Neisseria Gonnorhoea, N. Meningitis, N.Gonorrhoea sub kochii
b. Akut (Mukupurulen): Pneumokokkus / Strept Pneumoniae, Haemophillus Aegyptius (iklim tropik)
c. Subakut : Haemophillus Influenzae (iklim sedang)
d. Menahun : Staphilococcus aureus, Maxella Lacunata
e. Lain-lain : Streptococci, Calliform, Corynebact.Diptheriae, M. Tuberculose

2. Klamidial
a. Trachoma (Chlamydia Trachomatitis Serotipe A-C)
b. Konjungtivitis Inklusi (Chlamydia trachomatis Serotipe D-K)
c. Limfogranuloma Venerum (LGV)

3. Virus
a. Konjungtivitis folikuler virus akut: demam faringokonjungtivitis (Adenovirus tipe 3 dan 7), kerotokonjungtivitis epidemika (Adenovirus tipe 8 dan 19), virus herpes simplex, konjungtivitis hemoragik akut (Enterovirus tipe 70)
b. Konjungtivitis folikuler virus menahun : virus molluscum contagiosum
c. Blefarokonjungtivitis karena virus : Varicella, herpes zoster

4. Ricketsia, Konjungtivitis non purulen dengan hiperemia

5. Fungal
a. Eksudatif menahun : Candida
b. Granulomatosa : Rhinosporidium Seeberi, Sporotix Schenckii

6. Parasitik
Konjungtivitis dan blefarokonjungtivitis menahun : Ascaris Lumbricoides, Taenia Solium, Schistosa Haemotobium, Loa-Loa.

7. Immunologik (allergic)
a. Reaksi hipersensitivitas segera (humoral)
b. Reaksi hipersensitivitas tertunda (seluler)
c. Penyakit autoimun

8. Kimia atau iritatif
a. Latrogenik : miotika Idoxuridine, Obat topical lain, larutan lensa kontak
b. Berhubungan denga pekerjaan : asam, basa, asap, angin, cahaya ultra violet, bulu ulat.

9. Etiologi yang tidak dapat diketahui
Folikulosis, Konjungtivitis folikuler menahun, psoriasis, dermatitis herpetiformis, Epidermolisis Bulosa, konjungtivitis Ligneosa.2

2.7. Klasifikasi Konjungtivitis

Berdasarkan onset / waktu terjadinya penyakit :
1. Konjungtivitis Hiperakut
a. Noenatorum Gonoroe Conjunctivitis
b. Chemical Conjunctivitis
c. Adult Gonoroe Conjunctivitis
2. Konjungtivitis Akut
a. Cataralis Acute Conjunctivitis
b. Adult Inclusion Conjunctivitis
c. Blennorhoe Inclusion Conjunctivitis
d. Acute Follicular Conjunctivitis
- Pharyngo Conjunctival Fever (PCF)
- Epidemic KeratoConjunctivitis (EKC)
- Herpes Simpleks Conjunctivitis (HSC)
- New Castle Conjunctivitis (NCC)
- Acute Haemorrhagic Conjunctivitis (AHC)
- Inclusion Conjunctivitis
- Other Clamidya Conjunctivitis
3. Konjungtivits Kronik
a. Konjungtivitis Trakoma
b. Konjungtivitis Non-Trakoma

Berdasarkan etiologi :
1. Konjungtivitis Bakteri
2. Konjungtivitis Klamidia
3. Konjungtivitis Virus
4. Konjungtivitis Alergi9

2.8. Patofisiologi Konjungtivitis

Konjungtiva mengandung epitel skuamosa yang tidak berkeratin dan substansia propria yang tipis, kaya pembuluh darah. Konjungtiva juga memiliki kelenjar lakrimal aksesori dan sel goblet.5
Konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon imun tipe 1 terhadap alergen. Alergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE terjadi, menyebabkan degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi bertingkat dari peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, juga mediator lain termasuk triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. histamin dan bradikinin dengan segera menstimulasi nosiseptor, menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi konjungtiva.5
Konjuntivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun penjamu dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat menginvasi dari tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di dalam sel mukosa konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan viral memulai reaksi bertingkat dari peradangan leukosit atau limfositik meyebabkan penarikan sel darah merah atau putih ke area tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva dan berakumulasi di sana dengan berpindah secara mudahnya melewati kapiler yang berdilatasi dan tinggi permeabilitas.5
Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang menutupi konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan untuk terjadinya infeksi. Pertahanan sekunder adalah sistem imunologi (tear-film immunoglobulin dan lisozyme) yang merangsang lakrimasi.5

2.9. Gambaran Klinik Konjungtivitis

Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu tergores atau panas, sensasi penuh di sekitar mata, gatal dan fotofobia. Sensasi benda asing dan tergores atau terbakar sering berhubungan dengan edema dan hipertrofi papiler yang biasanya menyertai hiperemi konjungtiva. Sakit pada iris atau corpus siliaris mengesankan terkenanya kornea.2
Tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, berair mata, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis (edem stroma konjungtiva), folikel (hipertrofi lapis limfoid stroma), pseudomembranosa dan membran, granuloma, dan adenopati pre-aurikuler.2
Tanda-tanda Konjungtivitis2 :
a. Hiperemia adalah tanda paling mencolok pada konjungtivitis akut. Kemerahan paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus disebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior.
b. Berair mata (epiphora) sering mencolok, diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, terbakar atau gatal.
c. Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut. Eksudat berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis bakterial dan dapat pula berserabut seperti pada konjungtivitis alergika, yang biasanya menyebabkan tahi mata dan saling melengketnya palpebra saat bangun tidur pagi hari, dan jika eksudat berlebihan agaknya disebabkan oleh bakteri atau klamidia.
d. Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior karena infiltrasi ke muskulus muller (M. Tarsalis superior). Keadaan ini dijumpai pada konjungtivitis berat. Misalnya Trachoma dan keratokonjungtivitis epidemika.
e. Hipertrofi papila adalah reaksi konjungtiva non-spesifik yang terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk substansi papila (selain unsur sel dan eksudat) sampai di membran basal epitel, pembuluh ini bercabang-cabang di atas papila mirip jeruji payung. Eksudat radang mengumpul di antara serabut-serabut dan membentuk tonjolan-tonjolan konjungtiva.
f. Kemosis dari konjungtiva sangat memberi kesan konjungtivitis alergik akut tapi dapat juga timbul pada konjungtivitis gonococcal atau meningococcal akut dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Kemosis dari konjungtiva bulbar terlihat pada pasien dengan trichinosis.
g. Folikel terdiri dari hiperplasia limfoid fokal berada dalam lapisan limfoid konjungtiva dan biasanya mengandung sentrum germinativum. Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, putih atau abu-abu avaskuler. Dengan pemeriksaan slitlamp, pembuluh darah kecil dapat terlihat timbul dari batas folikel dan mengelilingi folikel.
h. Pseudomembran dan membran adalah hasil proses eksudatif dan berbeda derajatnya. Sebuah pseudomembran adalah pengentalan di atas permukaan epitel. Bila diangkat, epitel tetap utuh. Sebuah membran adalah pengentalan yang meliputi seluruh epitel dan jika diangkat akan meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah.
i. Limfadenopati periaurikuler adalah tanda penting dari konjungtivitis. Nodus periaurikuler yang besar maupun kecil, kadang sedikit nyeri tekan, muncul pada konjungtivitis herpes simplex primer, keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis inklusi, dan trachoma. Nodus periaurikuler yang kecil dan tidak nyeri tekan muncul pada demam faringokonjungtival dan konjungtivitis hemoragik akut.

Perbedaan macam-macam tipe dari konjungtivitis2
Temuan klinis dan sitologi Viral Bakterial Klamidial Alergik
Gatal Minimal Minimal Minimal Berat
Hiperemis Merata Merata Merata Merata
Berair mata berlebihan Sedang Sedang Sedang
Eksudasi Minimal Berlebihan Berlebihan Minimal
Adenopati periaurikuler Umum Tidak umum Umum hanya pada konjungtivitis inklusi Tidak ada
Pewarnaan terhadap eksudat dan kerokan Monosit Bakteri, PMN PMN, sel plasma, badan inklusi Eosinofil
Sakit tenggorokan dan demam yang menyertai Kadang-kadang Kadang-kadang Tidak pernah Tidak pernah


2.10. Macam-macam Konjungtivitis

A. Konjungtivitis Bakterial
Konjungtivitis bakteri umumnya diklasifikasikan sesuai dengan presentasi klinis: hiperakut, akut, atau kronis.
1. Konjungtivitis bakteri hiperakut (purulen)
Onset :
Timbul dengan onset yang cepat kurang dari 24 jam.10
Penyebab :
Neisseria Gonorrhoeae.2
Penularan :
Pada orang dewasa, organisme ditularkan dari alat kelamin ke tangan dan kemudian ke mata atau secara langsung dari kelamin kemata. Pada neonatus infeksi konjungtiva terjadi pada saat berada pada jalan kelahiran, penyakit ini ditularkan oleh ibu yang sedang menderita penyakit tersebut. Merupakan penyebab utama oftalmia neonatorum.1,5,10
Manifestasi Klinis :
Pada dewasa ditandai dengan timbulnya injeksi konjungtiva yang berat, kelopak mata edema,  keluarnya sekret purulen berlebihan, kemosis, rasa tidak nyaman atau nyeri dan kadang terdapat preauricular lymphadenopati.
Pada neonatus, penyakit ini menimbulkan sekret kuning kental dan purulen dengan masa inkubasi antara 12 jam hingga 5 hari, disertai perdarahan sub konjungtiva dan konjungtiva kemotik. 1,5,10
Pemeriksan dan diagnosis :
Pemeriksaan sekret dan pewarnaan metilen blue dimana dapat terlihat diplokok di dalam sel leukosit.
Dengan pewarnaan gram akan terdapat sel intraseluler atau ekstraseluler dengan sifat gram negatif.2


Terapi :
Pasien dirawat/isolasi
Antibiotik sistemik pada bayi : penisilin 50.000U/kgBB/hari selama 7 hari.
Antibiotik sistemik pada dewasa : penisilin G 4,8 juta unit IM bagi 2 dosis atau ceftriaxone 1gr/hr IV selama 7 hari.
Sekret dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air hangat bersih atau dengan garam fisiologis setiap ¼ jam dan selanjutnya diberi salep penisilin setiap ¼ jam.
Antibiotik topikal untuk dewasa : penisilin, ciprofloxacin, atau ofloxacin tiap jam.3
Komplikasi :
Konjungtivitis yang timbul berat dan  tidak segera diobati akan menyebabkan ulserasi dan perforasi kornea bahkan sampai mengancam  penglihatan, selain itu bisa masuk kealiran darah menyebabkan sepsis dan meningitis. 1,5,10


Gambar 2.3. : (a) Edema kelopak mata; (b) Sekret yang purulent; (c) Ulserasi kornea; (d) Perforasi kornea. (Sumber : Kansky, 2003)


2. Konjungtivitis bakteri akut (mukopurulen /catarrhal)
Onset :
Terjadi secara epidemik, biasanya timbul tiba-tiba dalam beberapa jam atau beberapa hari.10
Penyebab :
Streptokokus pneumonia pada iklim sedang dan Haemophilus aegyptius pada iklim panas. Penyebab yang jarang terjadi adalah Stapilokokus dan Streptokokus jenis lain.3
Manifestasi Klinis :
Hiperemi Konjungtiva
Edema kelopak dengan kornea yang jernih
Mata terasa mengganjal dan fotofobia
Kemosis : pembengkakan konjungtiva
Mukopurulen atau Purulen4
Pemeriksan dan diagnosis :
Organisme penyebab dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopik kerokan pada konjungtiva yang dipulas dengan pewarnaan gram atau geimsa. Dari pemeriksaan tersebut didapatkan, banyak Netrofil Polimorfonuklear.2
Terapi :
Pasien dirawat/isolasi
Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri dalam waktu 3 minggu.
Terapi tergantung temuan agen mikrobiologiknya. Prinsip terapi dengan obat topical spectrum luas. Pada 24 jam pertama obat diteteskan tiap 2 jam kemudian pada hari berikutnya diberikan 4 kali sehari selama 1 minggu. Pada malam harinya diberikan salep mata untuk mencegah belekan di pagi hari dan mempercepat penyembuhan.2,3
Komplikasi :
Konjungtivitis stafilokokus dapat berlanjut menjadi blefarokonjungtivitis dan memasuki tahap menahun. Penyulit lainnya tukak kataral marginal.3

3. Konjungtivitis bakteri subakut
Terjadi beberapa jam sampai beberapa hari. Paling sering disebabkan oleh Haemophylus Influenza dan terkadang oleh Escherichia Coli dan species Proteus. ditandai dengan eksudat tipis, berair dan berawan. 5,10,16
4. Konjungtivitis bakteri kronis
Konjungtivitis yang terjadi lebih dari 4 minggu. Sering terjadi pada beberapa pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis dan dakriosistitis kronik unilateral. Biasanya ditandai dengan merah mata dengan sekret purulen, umumnya disebabkan oleh Staphylococcus Aureus dan Chlamydia Trachomatis.1,5,10

B. Konjungtivitis Klamidia

1. Trakoma
Onset :
Masa inkubasi rata-rata 7 hari namun bervariasi dari 5-14 hari. Penyakit ini dapat sembuh dengan sedikit atau tanpa komplikasi, pada orang dewasa sering bersifat akut dan subakut dan cepat menyebabkan kompliksai.2
Penyebab :
Disebabkan oleh Chlamydia Serotipe A-C merupakan salah satu penyakit kronik yang sering dijumpai. Trakoma sering terjadi pada komunitas padat penduduk dengan higenitas sanitasi yang kurang dan kurang tersedianya air bersih. Bersifat bilateral menyebar melalui kontak langsung atau benda yang tercemar, umumnya dari anggota keluarga yang terkena (saudara atau orang tua).2,13
Manifestasi Klinis :
Gejalanya sering mirip konjungtivitis bakteri seperti mata berair, fotofobia, nyeri, eksudasi, edema palpebra, kemosis konjungtiva bulbi, hiperemia, hipertropi papiler, folikel tarsal dan limbal, nyeri tekan dan pembentukan panus.2
Untuk memastikan trakoma endemik dikeluarga atau masyarakat, harus ada sekurang-kurangnya 2 tanda berikut: lima atau lebih papil atau folikel pada konjungtiva tarsal rata pada palpebra superior mata, parut konjungtiva khas dikonjungtiva tarsal superior, folikel pada limbus dan sekuelenya (Herbert’s pits), perluasan pembuluh darah keatas kornea paling jelas dilimbus atas.2,13
Gambaran klinik oleh Mc Callan :11,13
Stadium I : Folikel yang imatur dan hipertrofi papiler pada tarsus atas
Stadium IIA: Folikel yang matur dan hipertrofi papiler pada tarsus atas
Stadium IIB: Hipertrofi papiler semakin jelas (dominan)
*) Pada stadium IIA dan IIB (established trakoma) juga didapatkan epitelial keratis, subepitelial keratis, pannus dan herbet’s pits
Stadium III : Trakoma aktif dan sikatrik
Stadium IV : Sikatrik tanpa tanda-tanda trakoma aktif
Grade  Trakoma menurut WHO: 2,13
TF : Terdapat lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal superior
TI   : Infiltrat difus  dan hipertrofi papilar konjungtivantarsal superior yang   sekurang-kurangnya menutupi 50% pembuluh profunda normal.
TS : Parut konjungtiva trakomatosa
TT : Trikiasis atau enteropion (bulu mata terbalik kedalam)
CO : Kekeruhan kornea.












Gambar 2.4. : (a) Konjungtiva normal, showing area to be examined. (b) Trachoma Folikular (TF) (c) Trachoma dengan  inflamasi (TI) . (d) parut konjungtiva (TS). (e) Trichiasis (TT). (f) kekeruhan kornea (CO). (Sumber : Solomon 2004)
Pemeriksaan dan Diagnosis :
Pada pengecatan Giemsa didapatkan sel-sel PMN, sel plasma, sel lebar (makrofag yang besar dan berisi debris), Halberstaedler-Prowasek Inclusion Bodies (Badan inklusi pada sitoplasma sel-sel konjungtiva).2,13,14
Terapi :
WHO menerapkan program SAFE dalam menangani trakoma yang terdiri dari terapi pembedahan, antibiotik, mencuci muka (menjaga kebersihan wajah) dan perbaikan lingkungan sekitar ( mengontrol petumbuhan lalat, penyediaan tempat pembuangan limbah manusia dan pasokan air yang cukup).13
Terapi antibiotik yang dapat diberikan yaitu  topikal tetes mata atau salep mata Tetrasiklin 1%, Erythromycin dan Sulfonamide  15%. Pemberian topikal selama 3 bulan dan antibiotik oral Tetrasiklin 4x250mg per hari selama 3-4 minggu atau Erithromycin 4x250mg per hari selama 3-4 minggu. Dosis dapat diperbesar dengan lama pemberian lebih pendek. Dosis 2-4  gram per hari selama 2 minggu. Bila sudah terjadi entropion dan trikiasis dapat dikoreksi dengan operasi tarsotomi metode SBL (Sei Boen Liang) 11,12
Komplikasi :
Parut dikonjungtiva adalah komplikasi yang sering terjadi pada trakoma dan dapat merusak duktuli kelenjar lakrimal dan menutupi muara kelenjar lakrimal. Hal ini akan mengurangi komponen air dalam film air mata pre-kornea, dan mungkin hilangnya sebagian sel goblet. Luka parut akan menyebabkan trikiasis atau entropion, sehingga bulu mata terus menerus menggesek kornea menyebabkan ulserasi kornea, infeksi, dan parut kornea.2,13,14

2. Konjungtivitis Inklusi
Penyebab :
Disebabkan oleh C trachomatis serotipe D-K. Sering bersifat bilateral dan sering terdapat pada orang muda dengan seksual aktif.2


Penularan :
Penyebaran ke mata biasanya terjadi karena praktik seksual oro genital atau penyebaran dari tangan ke mata. Penyebaran tidak langsung pernah dilaporkan dari kolam renang. Pada neonatus ditularkan saat kelahiran. 10
Manifestasi Klinis :
Bersifat akut maupun subakut. Pasien sering mengeluh mata pseudoptosis dan belekan terutama di pagi hari. Pada neonatus menunjukkan konjungtivitis papiler dan eksudat dalam jumlah sedang dan pada kasus hiperakut, dapat terbentuk pseudomembran yang menimbulkan parut. Pada neonatus dapat menimbulkan faringitis, otitis media dan pneumonitis. Pada orang dewasa konjungtivitis pada kedua tarsus inferior dan terdapat sejumlah papila dan folikel, jarang terdapat pseudomembran dan parut.(2)
Pemeriksaan dan Diagnosis :
Tes sama pada trakoma. Pada oftalmia klamidia neonatal, sediaan yang dipulas giemsa sering memperlihatkan banyak inklusi. Pengukuran antibodi IgM sangat berharga untuk mendiagnosis pneumonitis klamidia pada bayi.2
Terapi :
Pada bayi beri suspensi eritromycin 40 mg/kg/hari dalam 4 dosis terpisah selama sekurang-kurangnya 14 hari. Terapi oral diperlukan karena infeksi klamidia juga mencangkup saluran nafas dan gastrointestinal. Kedua orang tuanya harus diobati dengan tetracyklin dan eritromycin oral untuk infeksi saluran genitalianya. Pada dewasa diberikan tetracyclin oral 1-1.5 g/hari selama 3 minggu, doxycyclin 100 mg oral 2 kali sehari atau eritromycin 1 g/hari.2,6







C. Konjungtivitis Virus

Konjungtivitis virus di bagi menjadi akut dan menahun.
1. Konjungtivitis Folikuler Virus Akut
a). Demam Faringokonjungtival
Penyebab :
Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang – kadang oleh tipe 4 dan 7.2
Manifestasi Klinis :
Demam Faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3-40 ⁰C, sakit tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada satu atau dua mata. Folikuler sering sangat mencolok pada kedua konjungtiva dan pada mukosa faring. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dan kadang-kadang sedikit kekeruhan daerah subepitel. Yang khas adalah limfadenopati preaurikuler (tidak nyeri tekan).2
Pemeriksaan dan Diagnosis :
Virus itu dapat dibiakkan dalam sel HeLa dan ditetapkan oleh tes netralisasi. Dengan berkembangnya penyakit, virus ini dapat juga didiagnosis secara serologic dengan meningkatnya titer antibody penetral virus. Diagnosis klinis adalah hal mudah dan jelas lebih praktis.2,3
Kerokan konjungtiva terutama mengandung sel mononuclear, dan tak ada bakteri yang tumbuh pada biakan. Keadaan ini lebih sering pada anak-anak daripada orang dewasa dan sukar menular di kolam renang berchlor. 2,3
Terapi
Tidak ada pengobatan spesifik. Konjungtivitisnya sembuh sendiri, umumnya dalam sekitar 10 hari. 2


b). Keratokonjungtivitis Epidemika
Penyebab :
Keratokonjungtiva epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia).2
Penularan :
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang steril, atau pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama anestetika topical, mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva atau silia. Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber penyebaran. 2,3
Manifestasi Klinis :
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Pada awalnya pasien merasa ada infeksi dengan nyeri sedang dan berair mata, kemudian diikuti dalam 5-14 hari oleh fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan subepitel bulat. Sensai kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas. Edema palpebra, kemosis, dan hyperemia konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan perdarahan konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau pembentukan symblepharon. 2,3
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepian, dan menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa meninggalkan parut. 2
Keratokonjungtiva epidemika pada orang dewasa terbatas pada bagian luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare.2
Pemeriksaan dan diagnosis :
Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuclear primer; bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil.
Pencegahan :
Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan dengan memakai penetes steril pribadi atau memakai tetes mata dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan secara teratur di antara pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang menyentuh mata khususnya tonometer juga suatu keharusan. Tonometer aplanasi harus dibersihkan dengan alcohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan dengan hati-hati.
Terapi :
Sekarang ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan mengurangi beberapa gejala. kortikosteroid selama konjungtivitis akut dapat memperpanjang keterlibatan kornea sehingga harus dihindari. Agen antibakteri harus diberikan jika terjadi superinfeksi bacterial. 2
c). Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks
Penyebab :
HSV (Herves Simpleks Virus).2
Manifestasi Klinis :
Konjungtivitis virus herpes simplex biasanya merupakan penyakit anak kecil, adalah keadaan yang luar biasa yang ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, bertahi mata mukoid, sakit, dan fotofobia ringan. Pada kornea tampak lesi-lesi epithelial tersendiri yang umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus-ulkus epithelial yang bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitisnya folikuler. Vesikel herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan tepian palpebra, disertai edema hebat pada palpebra. Khas terdapat sebuah nodus preaurikuler yang terasa nyeri jika ditekan. 2,3

Pemeriksaan dan Diagnosis :
Tidak ditemukan bakteri di dalam kerokan atau dalam biakan. Jika konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama mononuclear, namun jika pseudomembran, reaksinya terutama polimorfonuklear akibat kemotaksis dari tempat nekrosis. Inklusi intranuklear tampak dalam sel konjungtiva dan kornea, jika dipakai fiksasi Bouin dan pulasan Papanicolaou, tetapi tidak terlihat dengan pulasan Giemsa. Ditemukannya sel – sel epithelial raksasa multinuclear mempunyai nilai diagnostic.3
Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah aplikator berujung kain kering di atas konjungtiva dan memindahkan sel-sel terinfeksi ke jaringan biakan.3
Terapi :
Jika konjungtivitis terdapat pada anak di atas 1 tahun atau pada orang dewasa, umunya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu terapi. Namun, antivirus local maupun sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea. Untuk ulkus kornea mungkin diperlukan debridemen kornea dengan hati-hati yakni dengan mengusap ulkus dengan kain kering, meneteskan obat antivirus, dan menutupkan mata selama 24 jam. Antivirus topical sendiri harus diberikan 7 – 10 hari: trifluridine setiap 2 jam sewaktu bangun atau salep vida rabine lima kali sehari, atau idoxuridine 0,1 %, 1 tetes setiap jam sewaktu bangun dan 1 tetes setiap 2 jam di waktu malam. Keratitis herpes dapat pula diobati dengan salep acyclovir 3% lima kali sehari selama 10 hari atau dengan acyclovir oral, 400 mg lima kali sehari selama 7 hari.3
Untuk ulkus kornea, debridmen kornea dapat dilakukan. Lebih jarang adalah pemakaian vidarabine atau idoxuridine. Antivirus topical harus dipakai 7-10 hari. Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan, karena makin memperburuk infeksi herpes simplex dan mengkonversi penyakit dari proses sembuh sendiri yang singkat menjadi infeksi yang sangat panjang dan berat. 2,3
d). Konjungtivitis Hemoragika Akut
Penyebab :
Konjungtivitis ini disebabkan oleh coxackie virus A24. Masa inkubasi virus ini pendek (8-48 jam) dan berlangsung singkat (5-7 hari). 2
Penularan :
Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke orang dan oleh fomite seperti sprei, alat-alat optic yang terkontaminasi, dan air. Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari.2
Manifestasi Klinis :
Mata terasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak mengeluarkan air mata, merah, edema palpebra, dan hemoragi subkonjungtival. Kadang-kadang terjadi kemosis. Hemoragi subkonjungtiva umumnya difus, namun dapat berupa bintik-bintik pada awalnya, dimulai di konjungtiva bulbi superior dan menyebar ke bawah. Kebanyaka pasien mengalami limfadenopati preaurikuler, folikel konjungtiva, dan keratitis epithelial. Uveitis anterior pernah dilaporkan, demam, malaise, mialgia, umum pada 25% kasus. 2
Terapi :
Tidak ada pengobatan yang pasti.

2. Konjungtivitis Virus Menahun

a). Blefarokonjungtivitis

Molluscum Contagiosum
Sebuah nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra dan alis mata dapat menimbulkan konjungtivitis folikuler menahun unilateral, keratitis superior, dan pannus superior, dan mungkin menyerupai trachoma. Reaksi radang yang mononuclear (berbeda dengan reaksi pada trachoma), dengan lesi bulat, berombak, putih mutiara, non-radang dengan bagian pusat, adalah khas molluscum kontagiosum. Biopsy menampakkan inklusi sitoplasma eosinofilik, yang memenuhi seluruh sitoplasma sel yang membesar, mendesak inti ke satu sisi.3
Eksisi, insisi sederhana nodul yang memungkinkan darah tepi memasukinya, atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitisnya. 3
b). Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster
Manifestasi Klinis :
Hyperemia dan konjungtivitis infiltrate disertai dengan erupsi vesikuler khas sepanjang penyebaran dermatom nervus trigeminus cabang oftalmika adalah khas herpes zoster. Konjungtivitisnya biasanya papiler, namun pernah ditemukan folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer, yang kemudian berulserasi. Limfonodus preaurikuler yang nyeri tekan terdapat pada awal penyakit. parut pada palpebra, entropion, dan bulu mata salah arah adalah sekuele. 2
Pemeriksaan dan Diagnosis :
Pada zoster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebra mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear; kerokan konjungtiva pada varicella dan zoster mengandung sel raksasa dan monosit. Virus dapat diperoleh dari biakan jaringan sel – sel embrio manusia. 2
Terapi :
Acyclovir oral dosis tinggi (800 mg oral lima kali sehari selama 10 hari), jika diberi pada awal perjalanan penyakit, agaknya akan mengurangi dan menghambat penyakit. 2
c). Keratokonjungtivitis Morbilli
Pada awal penyakit, konjungtiva tampak mirip kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti pembengkakan lipatan semiluner. Beberapa hari sebelum erupsi kulit, timbul konjungtivitis eksudatif dengan secret mukopurulen, dan saat muncul erupsi kulit, timbul bercak-bercak Koplik pada konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus. 2,3
Pada pasien imunokompeten, keratokonjungtivitis campak hanya meninggalkan sedikit atau sama sekali tanpa sekuel, namun pada pasien kurang gizi atau imunokompeten, penyakit mata ini seringkali disertai infeksi HSV atau infeksi bacterial sekunder oleh S pneumonia, H influenza, dan organism lain. Agen ini dapat menimbulkan konjungtivitis purulen yang disertai ulserasi kornea dan penurunan penglihatan yang berat. Infeksi herpes dapat menimbulkan ulserasi kornea berat dengan perforasi dan kehilangan penglihatan pada anak-anak kurang gizi di Negara berkembang. 2,3
Kerokan konjungtivitis menunjukkan reaksi sel mononuclear, kecuali jika ada pseudomembran atau infeksi sekunder. Sedian terpulas giemsa mengandung sel-sel raksasa. Karena tidak ada terapi spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang dilakukan, kecuali jika ada infeksi sekunder. 2

D. Konjungtivitis Imunologik (Alergi)
- Reaksi Hipersensitivitas Humoral Langsung :
1. Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)
Manifestasi Klinis :
Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai demam jerami (rhinitis alergika). Bianya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya. Pasien mengeluh tentang gatal-gatal, berair mata, mata merah, dan sering mengatakan bahwa matanya seakan-akan “tenggelam dalam jaringan sekitarnya”. Terdapat sedikit penambahan pembuluh pada palpebra dan konjungtiva bulbi, dan selama serangan akut sering terdapat kemosis berat (yang menjadi sebab “tenggelamnya” tadi). Mungkin terdapat sedikit tahi mata, khususnya jika pasien telah mengucek matanya.2
Pemeriksaan dan Diagnosis :
Sulit ditemukan eosinofil dalam kerokan konjungtiva.2
Terapi :
Meneteskan vasokonstriktor local pada tahap akut (epineprin, larutan 1:1000 yang diberikan secara topical, akan menghilangkan kemosis dan gejalanya dalam 30 menit). Kompres dingin membantu mengatasi gatal-gatal dan antihistamin hanya sedikit manfaatnya. Respon langsung terhadap pengobatan cukup baik, namun sering kambuh kecuali anti-gennya dapat dihilangkan.2
2. Keratokonjungtivitis Vernalis
Keratokonjungtivitis vernal adalah inflamasi konjungtiva yang rekuren, bilateral, interstitial dan self-limiting.
Insiden :
Biasanya mulai dalam tahun-tahun prapubertas dan berlangsung 5 – 10 tahun. Penyakit ini lebih banyak pada anak laki-laki daripada perempuan.2
Manifestasi Klinis :
Pasien mengeluh gatal-gatal yang sangat dan bertahi mata berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi (demam jerami, eczema, dan lainnya). Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat banyak papilla halus di konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra superior sering memiliki papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papilla raksasa berbentuk polygonal, dengan atap rata, dan mengandung berkas kapiler. 2,3,7
Pemeriksaan dan Diagnosis :
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas. 2
Terapi :
Penyakit ini sembuh sendiri tetapi medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya member hasil jangka pendek, berbahaya jika dipakai untuk jangka panjang. Steroid sisremik, yang mengurangi rasa gatal, hanya sedikit mempengharuhi penyakit kornea ini, dan efek sampingnya (glaucoma, katarak, dan komplikasi lain) dapat sangat merugikan. Crmolyn topical adalah agen profilaktik yang baik untuk kasus sedang sampai berat. Vasokonstriktor, kompres dingin dan kompres es ada manfaatnya, dan tidur di tempat ber AC sangat menyamankan pasien. Agaknya yang paling baik adalah pindah ke tempat beriklim sejuk dan lembab. Pasien yang melakukan ini sangat tertolong bahkan dapat sembuh total. 2,3
3. Keratokonjungtivitis Atopik
Manifestasi Klinis :
Sensasi terbakar, bertahi mata berlendir, merah, dan fotofobia. Tepian palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu. Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang seperti pada keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior. Berbeda dengan papilla raksasa pada keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus superior. Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti dengan vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak kabur dan bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan. 2,3
Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema) pada pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopic sejak bayi. Parut pada lipatan-lipatan fleksura lipat siku dan pergelangan tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti dermatitisnya, keratokonjungtivitis atopic berlangsung berlarut-larut dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif bila pasien telah berusia 50 tahun.2,3
Pemeriksaan dan Diagnosis :
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak yang terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal. 2
Terapi :
Antihistamin oral termasuk terfenadine (60-120 mg 2x sehari), astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine (50 mg waktu tidur, dinaikkan sampai 200 mg) ternyata bermanfaat. Obat-obat antiradang non-steroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan iodoxamid, ternyata dapat mengatasi gejala pada pasien-pasien ini. Pada kasus berat, plasmaferesis merupakan terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan transplantasi kornea untuk mengembalikan ketajaman penglihatannya. 2,3

4. Konjungtivitis Giant Papillarry

Konjungtivitis Giant Papillarry adalah yang diperantarai reaksi imun yang mengenai konjungtiva tarsalis superior.
Penyebab :
Penyebabnya masih belum diketahui secara pasti dan diperkirakan kombinasi reaksi hipersensitivitas tipe 1 dan 4 mendasari patofisiolginya. Antigen yang terdapat konjungtiva seperti lensa kontak dan benang operasi akan menstimulasi timbulnya reaksi imun pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Iritasi mekanis yang terus-menerus terhadap konjungtiva tarsalis superior juga menjadi salah satu faktor terjadinya konjungtivitis Giant Papillarry.2
Pemeriksaan dan Diagnosis :
Dari anamnesa didapatkan riwayat pemakaian lensa kontak terutama jika memakainya melewati waktunya. Juga ditemukan keluhan berupa mata gatal dan berair. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit, papilnya kecil (sekitar 0,3mm diameter). Bila iritasi terus berlangsung, papil kecil akan menjadi besar ( giant) yaitu sekitar 1mm diameter.2
Terapi :
Pada konjungtivitis giant papillary tatalaksana yang paling baik adalah menghindari kontak dengan iritan. Jika memakai lensa kontak, dinasehatkan agar mengganti dengan memakai kaca mata. Jika tetap menggunakan lensa kontak, perawatan lensa kontak yang baik seperti desinfeksi dan pembersihan dengan cairan yang tepat dan jangan memakai melewati waktunya. Dapat juga diberikan disodium cromoglyn sebagai terapi simptomatik.2,3



Komplikasi :
Pada konjungtivitis giant papillary, iritasi kronis akan menyebabkan keratitis yaitu inflamasi pada kornea dan dapat menyebabkan kebutaan permanen karena terjadi ulserasi pada permukaan kornea.
- Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat :
1. Phlyctenulosis
Definisi :
Keratokonjungtivitis phlcytenularis adalah respon hipersensitivitas lambat terhadap protein mikroba, termasuk protein dari basil tuberkel, Staphylococcus spp, Candida albicans, Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptus, dan Chlamydia trachomatis serotype L1, L2, dan L3. 2
Manifestasi Klinis :
Phlyctenule konjungtiva mulai berupa lesi kecil yang keras, merah, menimbul, dan dikelilingi zona hyperemia. Di limbus sering berbentuk segitiga, dengan apeks mengarah ke kornea. Di sini terbentuk pusat putih kelabu, yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari. Phlyctenule pertama pada pasien dan pada kebanyakan kasus kambuh terjadi di limbus, namun ada juga yang di kornea, bulbus, dan sangat jarang di tarsus. 2
Phlyctenule konjungtiva biasanya hanya menimbulkan iritasi dan air mata, namun phlyctenule kornea dan limbus umumnya disertai fotofobia hebat. Phlyctenulosis sering dipicu oleh blefaritis aktif, konjungtivitis bacterial akut, dan defisiensi diet.
Terapi :
Phlyctenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein dan protein dari infeksi sistemik lain berespon secara dramatis terhadap kortikosteroid topical. Terjadi reduksi sebagian besar gejala dalam 24 jam dan lesi hilang dalam 24 jam berikutnya. Antibiotika topical hendaknya ditambahkan untuk blefarikonjungtivitis stafilokokus aktif. Pengobatan hendaknya ditujukan terhadap penyakit penyebab, dan steroid bila efektif, hendaknya hanya dipakai untuk mengatasi gejala akut dan parut kornea yang menetap. Parut kornea berat mungkin memerlukan tranplantasi. 2
2. Konjungtivitis Ringan Sekunder terhadap Blefaritis kontak
Penyebab :
Blefaritis kontak yang disebabkan oleh atropine, neomycin, antibiotika spectrum luas, dan medikasi topical lain sering diikuti oleh konjungtivitis infiltrate ringan.2
Manifestasi Klinis :
Hyperemia, hipertropi papiler ringan, bertahi mata mukoid ringan, dan sedikit iritasi.2
Pemeriksaan dan Diagnosis :
Pemeriksaan kerokan berpulas giemsa sering hanya menampakkan sedikit sel epitel matim, sedikit sel polimorfonuklear dan mononuclear tanpa eosinofil. 2
Terapi :
Pengobatan diarahkan pada penemuan agen penyebab dan menghilangkannya. Blefaritis kontak dengan cepat membaik dengan kortikosteroid topical, namun pemakaiannya harus dibatasi. Penggunaan steroid jangka panjang pada palpebra dapat menimbulkan glaucoma steroid dan atropi kulit dengan telangiektasis yang menjelekkan.2

- Penyakit Autoimun :
1. Keratokonjungtivitis Sicca
Berkaitan dengan Sindrom Sjorgen (trias: keratokonj. sika, xerostomia, artritis).2
Manifestasi Klinis :
Khas: hiperemia konjungtivitis bulbi dan gejala iritasi yang tidak sebanding dengan tanda-tanda radang.
Dimulai dengan konjungtivitis kataralis
Pada pagi hari tidak ada atau hampir tidak ada rasa sakit, tetapi menjelang siang atau malam hari rasa sakit semakin hebat.2
Pemeriksaan dan Diagnosis :
Uji Schirmer: abnormal
Pewarnaan Rose bengal untuk uji diagnostik.
Biopsi bibir : adanya infiltrasi limfositik dan sel plasma pada kelenjar liur tambahan.2
Terapi :
- Air mata buatan
- Obliterasi pungta lakrimal.2

2. Pemphigoid Sikatrikal

Penyakit ini biasanya mulai sebagai konjungtivitis menahun nonspesifik yang resisten terhadap terapi. Mungkin hanya konjungtiva yang terkena atau bersama mulut, hidung, esophagus, vulva, dan kulit. Konjungtivitis berakibat parut pogresif, penutupan forniks-forniks (terutama forniks inferior) dan entropion dengan trikiasis. Pasien mengeluh sakit, iritasi dan penglihatan kabur. Kornea terlihat karena ada trikiasis dan film air mata prekorneal kurang. Penyakit ini lebih berat pada wanita daripada pria. Pemfigoid sikatrik khas penyakit usia pertengahan, jarang sebelum usia 45 tahun. Pada wanita penyakit ini dapat berlanjut sampai berakibat kebutaan dalam satu tahun atau kurang; pada pria jalanya penyakit lebih lambat, dan kadang-kadang terjadi remisi spontan.2
Pengobatan selalu harus dimulai pada tahap dini, sebelum terjadi parut yang berarti. Pada umumnya, perjalananya panjang dan prognosisnya buruk, dengan hasil terakhir kebutaan akibat symblepharon total dan pengeringan kornea.2  

E. Konjungtivitis Kimia atau Iritatif
1.  Konjungtivitis Iatrogenik Akibat Pemberian Obat Topikal
Konjungtivitis folikuler toksik atau konjungtivitis non spesifik infiltratif, yang diikuti pembentukan parut, seringkali terjadi akibat pemberian lama dipivefrin, miotika, idoxuridine, neomycine, dan obat-obat lain yang disiapkan dalam bahan pengawet atau vehicel toksik atau yang menimbulkan iritasi. Perak nitrat yang diteteskan kedalam saccus konjungtiva saat lahir (profilaksis Crede’) sering menjadi penyebab konjungtivitis kornea ringan. Jika produksi air mata berkurang akibat iritasi yang kontinue, konjungtiva kemudian akan cedera karena tidak ada pengenceran terhadap agen yang merusak saat diteteskan kedalam sacus konjungtiva.2
Pengobatan terdiri atas menghentikan agen penyebab dan memakai tetesan yang lembut dan lunak atau sama sekali tanpa tetesan. Sering reaksi konjungtiva menetap sampai berminggu-minggu atau berbulan lamanya setelah penyebabnya dihilangkan.2

2.  Konjungtivitis Pekerjaan oleh Bahan Kimia dan Iritans
Asam, alkali, asap, angin, dan hampir setiap substansi iritan yang masuk ke sacus konjungtiva. Beberapa iritan umum adalah pupuk, sabun, deodoran, spray rambut, tembakau, bahan-bahan make-up (mascara dll) dan berbagai asam dan alkali. Didaerah tertentu, asbut (campuran asap dan kabut) menjadi penyebab utama konjungtivitis kimia ringan. Iritan spesifik dalam asbut belum dapat ditetapkan secara positif, dan pengobatanya non spesifik. Tidak ada efek pada mata yang permanen, namun mata yang terkena seringkali merah dan terasa mengganggu secara menahun.2
Pada luka karena asam, asam itu mengubah sifat protein jaringan dan efeknya langsung. Alkali tidak mengubah sifat protein dan cenderung cepat menyusup kedalam jaringan dan menetap didalam jaringan konjungtiva. Disini mereka terus merusak selama berjam-jam atau berhari-hari lamanya, tergantung konsentrasi molar alkali tersebut dan jumlah yang masuk. Perlengkatan antara konjungtiva bulbi dan palpebra (symblepharon) dan leukoma kornea lebih besar kemungkinan terjadi jika agen penyebabnya adalah alkali. Pada kejadian manapun gejala utama bahan kimia adalah sakit, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme. Riwayat kejadian pemicu biasanya dapat diungkap.2
Pembilasan segera dan menyeluruh sacus konjungtiva dengan air atau larutan garam sangat penting, dan setiap materi padat  harus disingkirkan secara mekanik. Jangan memakai antidotum kimiawi. Tindakan simptomatik umum adalah kompres dingin selama 20 menit setiap jam. Teteskan atropin 1% dua kali sehari dan beri analgetik sistemik kalau perlu.2
.

BAB III
PENUTUP

Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa.
Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini, mata sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis bakteri biasanya mengenai kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata dalam jumlah banyak, berwarna kuning kehijauan. Konjungtivitis alergi juga mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal. Konjungtivitis papiler raksasa adalah konjungtivitis yang disebabkan oleh intoleransi mata terhadap lensa kontak. Biasanya mengenai kedua mata, terasa gatal, banyak kotoran mata, air mata berlebih, dan kadang muncul benjolan di kelopak mata. Konjungtivitis virus biasanya tidak diobati, karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari. Walaupun demikian, beberapa dokter tetap akan memberikan larutan astringen agar mata senantiasa bersih sehingga infeksi sekunder oleh bakteri tidak terjadi dan air mata buatan untuk mengatasi kekeringan dan rasa tidak nyaman di mata.
Obat tetes atau salep antibiotik biasanya digunakan untuk mengobati konjungtivitis bakteri. Antibiotik sistemik juga sering digunakan jika ada infeksi di bagian tubuh lain. Tablet atau tetes mata antihistamin cocok diberikan pada konjungtivitis alergi. Selain itu, air mata buatan juga dapat diberikan agar mata terasa lebih nyaman, sekaligus melindungi mata dari paparan alergen, atau mengencerkan alergen yang ada di lapisan air mata. Untuk konjungtivitis papiler raksasa, pengobatan utama adalah menghentikan paparan dengan benda yang diduga sebagai penyebab, misalnya berhenti menggunakan lensa kontak. Selain itu dapat diberikan tetes mata yang berfungsi untuk mengurangi peradangan dan rasa gatal di mata.
Pada dasarnya konjungtivitis adalah penyakit ringan, namun pada beberapa kasus dapat berlanjut menjadi penyakit yang serius.


DAFTAR PUSTAKA


1. Quinn Christopher J. Optometric Clinical Practice Guideline Care of The Patien with Conjungtivitis. 2002.  http://www.aoa.org/documents/CPG-11.pdf.
2. Francisco J.G.F, Ivan R.S, Debra J.S, Konjungtiva dan Konjungtivitis. Dalam : Vaughan D.G, Asbury T, Riordan E.P, Editor. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta : EGC. 2010.
3. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: FKUI. 2005.
4. Khurana AK. Diseases of the conjunctiva. Dalam : Khurana AK, editor. Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi: New Age; h51-88.
5. Morrow GL, Abbott RL.  Conjunctivitis. American Family Physician Vol. 57/No. 4. February 15, 2000.
6. American Academy of Opthalmology. External Disease and Cornea. Section 11. San Fransisco: MD Association, 2005-2006
7. James, Brus, dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga. 2005.
8. Https://online.epocrates.com/u/291168/Acute+conjunctivitis/Summary/Highlights.
9. Perdami.Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran ed-2. Jakarta: Sagung Seto. 2002.
10. Tarabishy B, Ahmad, MD. Bacterial conjunctivitis: A review for internists, Cole Eye Institute. 2008. http://ccjm.org/content/75/7/507.full.pdf.
11. Soewono Wisnujono, Oetomo Moegiono, Eddyanto. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Mata. Surabaya : RSUD dr Soetom. 2002 ; hal 75-88.
12. Kanski J. Clinical Ophthalmology, A Systematic Approach 5th Ed. Butterworth Heinemann, 2003.
13. Babalola, O. Trachoma and Contemporary Scourg. 2005. http://indexmedicus.afro.who.int/iah/fulltext/trachoma.pdf.
14. Solomon Anthony W. Diagnosis and Assessment of Trachoma. 2004. http://cmr.asm.org/cgi/content/full/17/4/982.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar